UNTUKMU KEDUA KANDIDAT CAPRES
AJINING DIRI ANA ING LATHI, AJINING RAGA
ANA ING BUSANA
Saya
bukanlah pengamat politik, saya bukanlah kader atau pengurus partai, dan saya
bukanlah timses pemanangan capres, saya dalah penggembala bebek yang ingin
mencurahkan uneg-uneg sebagai warga negara Indonesia. Walaupun tulisan ini
tidak sekelas dan selevel dengan tulisan tulisan yang pernah ada, namun apa
salahnya jika saya menitipkan pesan kepada engkau wahai kedua kandidat.
Ajining diri ana ing lathi, ajining raga
ana ing busono. Pepatah jawa terseut kurang lebih jika
diartikan adalah wibawa diri seseorang terletak di ucapannya ( lathi = mulut ),
dan wibawa dari jiwa raga seseorang terletak pada apa yang dipakainya. Mungkin
begitulah saya memberikan komentar pada saat melihat debat capres dan cawapres
ke 5. Dimana debat ini adalah debat terakhir dalam masa kampanye pilpres tahun
2014. Tidak akan membahas siapa yang baik dan siapa yang buruk terkait kedua
pasangan capres dan cawapre tersebut, tidak akan membahas materi debat, lebih
dari itu jika boleh saya berkomentar menurut pandangan saya pribadi, maka kedua
pepatah diatas berlaku pada kedua capres dan cawapres. Namun, masalah pilihan
kembali kepada kita masing-masing sebagai warga negara Indonesia yang telah
mempunyai hak pilih.
Ajining diri ana ing lathi,
banyak yang pintar berucap dan berdiplomasi namun dari ucapan tersebut
menggambarkan sosok seseorang itu sebenarnya. Dalam debat tersebut kedua belah
pihak saling memberikan opini, argumen, visi dan misi, termasuk juga dalam gaya
berbicara dan apa yang diucapkannya. Tak jarang kedua kubu saling menjatuhkan,
saling mencari kesalahan, sering kali juga kedua kubu mengucapkan saya yang
paling benar, saya seperti ini, partai koalisi saya seperti ini. Acap kali dari
apa yang diucapkan mencerminkan bagaimana seseorang tersebut dapat dipercaya
atau tidak, sombong apa tidak, amanah atau khianat, jujur atau dusta, menepati
atau khianat. Hanyalah kita sebagai warga negara yang bisa menilai siapa
sebenarnya pilihan kita yang kelak akan memimpin sekitar 200 juta manusia
Indonesia.
Ajining raga ana ing busono, sedikit
kontra mungkin jika diucapkan. Mengapa tidak, karena banyak orang yang
mengatakan bahwa melihat seseorang itu jangan dari luarnya. Betul, kita tidak
boleh melihat orang dari covernya atau lahirnya. Tetapi apa salahnya jika kita
sendiri menghargai diri kita dimulai dari penampilan. Sebagai contoh, jika kita
mempunyai kemampuan atau kepintaran, katakan bahwa kita mempunyai sebuah indeks
pestasi camlude, namun pada saat kita ingin melamar kerja pada suatu perusahaan
maka cobalah kita memakai pakaian ala kadarnya, apa yang terjadi?. Contoh
berikutnya, dan sebagian orang juga cenderung tertipu yaitu jika kita memakai
sesuatu yang terkesan mewah namun pada dasarnya kita hanya nol dalam kemampuan,
maka apa yang terjadi. Kedua pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab oleh
diri kita masing-masing. Jangankan dalam kehidupan sosial, hubungan vertikal
antara tuhan dan kita sebagai mahkluknya juga mengisyaratkan bahawa kita sedang
menghadap raja, apakah juga harus menggunakan busono ala kadarnya, tentu tidak. Dengan demikian, maka busono
merupakan salah satu citra dari kehormatan sesorang, apalagi sebagai calon
pemimpin bangsa.
Melihat debat yang ditayangkan oleh beberapa
stasiun televisi, ada satu pihak yang menggunakan busono ala kadarnya dan
terkesan merakyat. Ada satu kubu yang menggunakan busono yang necis agar
terkesan berwibawa dengan lambang dan logo yang familiar walaupun sebeanrnya
ada yang salah juga. Sebenarnya, dengan menggunakan suatu busono tadi dapat menggambarkan
bagaimana citra dan kehormatan serta kewibawaan pemimpin yang akan membawa
Indonesia kedapan. bagaimana jadinya jika seorang pemimpin tidak bisa
menghargai dirinya sendirinya minimal dari apa yang disandang, akan memimpin
berjuta-juta umat, apa yajadinya negara Indonesia dimata dunia. Masalahnya
sekarang bukanlah dari apa yang dipakai, tapi dari apa yang dipakainya tersebut
membawa jiwa seorang pemimpin atau bukan.
Jika kita memahami kedua pepapatah tersebut
diatas, maka kesimpulanya adalah sebagai pemimpin jagalah ucapan kita,
hati-hatilah dalam berucap dan bermawas dirilah kita, karena kita tidak tahu
bahwa ucapan tersebut sewaktu-waktu akan menjadi bumerang bagi kita sendiri.
Hati-hatilah, ucapan menunjukan manusia itu berkualitas atau tidak. Dengan
berhat-hati dalam berucap tentunya dalam mengharagai jiwa raga kita sendiri
juga akan timbul rasa hormat kepada orang lain.
Saya tidak akan mengacungkan satu atau dua
jari dalam memberikan salam, namun sepuluh jari tangan mengepal untuk salam indonesia
yang bersatu. Pilihlah capresdan cawapres sesuai dengan hati nurani anda. Siapapun
yang terpilih mudah-mudaha Allah memberikan yang terbaik bagi Indonesia..
Salam Persatuan dan Kesatuan
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih telah mengunjungi gubuk saya...!!
Salam