Saturday 5 July 2014

UNTUKMU KEDUA KANDIDAT CAPRES AJINING DIRI ANA ING LATHI, AJINING RAGA ANA ING BUSANA

UNTUKMU KEDUA KANDIDAT CAPRES
AJINING DIRI ANA ING LATHI, AJINING RAGA ANA ING BUSANA

Saya bukanlah pengamat politik, saya bukanlah kader atau pengurus partai, dan saya bukanlah timses pemanangan capres, saya dalah penggembala bebek yang ingin mencurahkan uneg-uneg sebagai warga negara Indonesia. Walaupun tulisan ini tidak sekelas dan selevel dengan tulisan tulisan yang pernah ada, namun apa salahnya jika saya menitipkan pesan kepada engkau wahai kedua kandidat.
Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busono. Pepatah jawa terseut kurang lebih jika diartikan adalah wibawa diri seseorang terletak di ucapannya ( lathi = mulut ), dan wibawa dari jiwa raga seseorang terletak pada apa yang dipakainya. Mungkin begitulah saya memberikan komentar pada saat melihat debat capres dan cawapres ke 5. Dimana debat ini adalah debat terakhir dalam masa kampanye pilpres tahun 2014. Tidak akan membahas siapa yang baik dan siapa yang buruk terkait kedua pasangan capres dan cawapre tersebut, tidak akan membahas materi debat, lebih dari itu jika boleh saya berkomentar menurut pandangan saya pribadi, maka kedua pepatah diatas berlaku pada kedua capres dan cawapres. Namun, masalah pilihan kembali kepada kita masing-masing sebagai warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih.

Ajining diri ana ing lathi, banyak yang pintar berucap dan berdiplomasi namun dari ucapan tersebut menggambarkan sosok seseorang itu sebenarnya. Dalam debat tersebut kedua belah pihak saling memberikan opini, argumen, visi dan misi, termasuk juga dalam gaya berbicara dan apa yang diucapkannya. Tak jarang kedua kubu saling menjatuhkan, saling mencari kesalahan, sering kali juga kedua kubu mengucapkan saya yang paling benar, saya seperti ini, partai koalisi saya seperti ini. Acap kali dari apa yang diucapkan mencerminkan bagaimana seseorang tersebut dapat dipercaya atau tidak, sombong apa tidak, amanah atau khianat, jujur atau dusta, menepati atau khianat. Hanyalah kita sebagai warga negara yang bisa menilai siapa sebenarnya pilihan kita yang kelak akan memimpin sekitar 200 juta manusia Indonesia.
Ajining raga ana ing busono, sedikit kontra mungkin jika diucapkan. Mengapa tidak, karena banyak orang yang mengatakan bahwa melihat seseorang itu jangan dari luarnya. Betul, kita tidak boleh melihat orang dari covernya atau lahirnya. Tetapi apa salahnya jika kita sendiri menghargai diri kita dimulai dari penampilan. Sebagai contoh, jika kita mempunyai kemampuan atau kepintaran, katakan bahwa kita mempunyai sebuah indeks pestasi camlude, namun pada saat kita ingin melamar kerja pada suatu perusahaan maka cobalah kita memakai pakaian ala kadarnya, apa yang terjadi?. Contoh berikutnya, dan sebagian orang juga cenderung tertipu yaitu jika kita memakai sesuatu yang terkesan mewah namun pada dasarnya kita hanya nol dalam kemampuan, maka apa yang terjadi. Kedua pertanyaan tersebut tentunya dapat dijawab oleh diri kita masing-masing. Jangankan dalam kehidupan sosial, hubungan vertikal antara tuhan dan kita sebagai mahkluknya juga mengisyaratkan bahawa kita sedang menghadap raja, apakah juga harus menggunakan busono ala kadarnya, tentu tidak. Dengan demikian, maka busono merupakan salah satu citra dari kehormatan sesorang, apalagi sebagai calon pemimpin bangsa.
Melihat debat yang ditayangkan oleh beberapa stasiun televisi, ada satu pihak yang menggunakan busono ala kadarnya dan terkesan merakyat. Ada satu kubu yang menggunakan busono yang necis agar terkesan berwibawa dengan lambang dan logo yang familiar walaupun sebeanrnya ada yang salah juga. Sebenarnya, dengan menggunakan suatu busono tadi dapat menggambarkan bagaimana citra dan kehormatan serta kewibawaan pemimpin yang akan membawa Indonesia kedapan. bagaimana jadinya jika seorang pemimpin tidak bisa menghargai dirinya sendirinya minimal dari apa yang disandang, akan memimpin berjuta-juta umat, apa yajadinya negara Indonesia dimata dunia. Masalahnya sekarang bukanlah dari apa yang dipakai, tapi dari apa yang dipakainya tersebut membawa jiwa seorang pemimpin atau bukan.
Jika kita memahami kedua pepapatah tersebut diatas, maka kesimpulanya adalah sebagai pemimpin jagalah ucapan kita, hati-hatilah dalam berucap dan bermawas dirilah kita, karena kita tidak tahu bahwa ucapan tersebut sewaktu-waktu akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Hati-hatilah, ucapan menunjukan manusia itu berkualitas atau tidak. Dengan berhat-hati dalam berucap tentunya dalam mengharagai jiwa raga kita sendiri juga akan timbul rasa hormat kepada orang lain.

Saya tidak akan mengacungkan satu atau dua jari dalam memberikan salam, namun sepuluh jari tangan mengepal untuk salam indonesia yang bersatu. Pilihlah capresdan cawapres sesuai dengan hati nurani anda. Siapapun yang terpilih mudah-mudaha Allah memberikan yang terbaik bagi Indonesia..


Salam Persatuan dan Kesatuan 

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih telah mengunjungi gubuk saya...!!
Salam